Rahasia Ku Sebagai Mama Yang Menjanda 2

jilbabinalonline
0

Kehidupanku laksana satelit yang diletakkan di hulu roket, lalu melesat ke angkasa biru sampai meninggalkan atmosphere bumiku. Segalanya langsung berubah drastis. Karena aku sudah menjadi Nyonya Mathias, yang memiliki segalanya.

Setelah menjadi istri Papie, aku terbiasa dipanggil Mamie oleh anak - anak tiri yang usianya lebih tua dariku. Begitu juga dengan suami mereka, yang lebih tua daripada istrinya masing - masing, aku senantiasa dipanggil Mamie. Seminggu setelah aku diresmikan sebagai istri Papie, kedua anak tiriku yang kuliah di Amerika dan Kanada pun datang.

Mereka mengucapkan selamat pada Papie dan juga padaku. Meski mereka hanya seminggu berada di Indonesia, mereka kelihatan sangat mendukung perkawinanku dengan ayah mereka. Aku pun jadi bisa membedakan mana anak tiriku yang ketiga dan keempat. Anak tiri yang ketiga bernama Bobby, kuliah di Kanada. Sementara anak keempat bernama Kent, kuliah di Amerika Serikat.

Kesimpulannya, keempat anak tiriku, baik yang tinggal di Indonesia, mau pun yang pada kuliah di Kanada dan Amerika, sama - sama merasa senang, karena ayah mereka telah memiliki pendamping, meski usiaku jauh lebih muda daripada ayah mereka.

Satu - satunya anak tiri yang sulit diajak berkomunikasi, adalah anak tiriku yang bungsu dan bernama Boyke itu. Bahkan kata “Mamie” pun tak pernah kudengar dari mulutnya.

Tapi aku berusaha untuk beradaptasi dengan anak tiriku yang bungsu itu. Karena Papie sering berkata, bahwa sikapnya memang berubah sejak ibunya meninggal dunia. Maklum tadinya Boyke sangat dimanjakan oleh ibu kandungnya almarhumah. Lalu setelah ibunya meninggal, Boyke seolah kehilangan pegangan yang paling disayang dan diandalkannya.

Setiap pagi Boyke meninggalkan rumah di atas motor gedenya. Lalu pulang setelah larut malam.

Pernah pada suatu pagi, ketika Boyke sedang menyantap sarapan pagi di ruang makan, aku mencoba mendekatinya. Ikut sarapan pagi di ruang makan.

Boyke melirik pun padaku tidak. Asyik saja makan roti bakar dan minum kopi susunya.

“Kamu tiap hari ke mana aja Boy?” tanyaku dengan nada lembut.

Boyke menyahut dengan ketus, “Bukan urusan Anda.”

“Nggak tertarik untuk kuliah seperti teman - teman sebayamu?” tanyaku, tanpa mempedulikan keketusannya.

Boyke menggeleng.

“Padahal sayang lho waktumu dibuang - buang begitu. Ilmu itu kan penting untuk masa depanmu…”

Belum lagi habis kata - kataku, Boyke berdiri sambil berkata, “Anda bukan ibuku. Jadi nggak usah ngasih ceramah padaku.”

Lalu ia meninggalkan ruang makan. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin motornya, yang lalu menjauh sampai hilang dari pendengaranku.

Aku cuma bisa menghela nafas panjang. Sepertinya sulit sekali berkomunikasi dengan anak tiriku yang satu itu. Sementara Papie sering berada di luar kota. Sehingga Papie mungkin tidak tahu kalau aku sering berusaha mendekati anak bungsunya, tapi selalu mentok dan membuatku nyaris putus asa.

Ketika aku mengadu kepada Papie tentang sikap dan perilaku anak bungsunya itu, Papie berkata, “Nggak usah dipikirin Boyke sih. Jangankan sama Mamie, sama aku aja sangat jarang berkomunikasi. Dia seperti hidup di alamnya sendiri. Tapi yang jelas, dia tidak nakal, apalagi jahat. Dia tidak pernah menghabiskan duitku untuk berfoya - foya dengan temannya.

Dia juga tidak banyak teman. Beberapa kali kusuruh satpam untuk menguntitnya, agar aku tau ke mana saja dia pergi. Ternyata dia hanya duduk sendiri di puncak bukit, tanpa seorang teman pun. Mungkin di puncak bukit itu hatinya terasa tenang, mungkin juga dia sedang mengenang ibunya yang sudah tiada. Yang jelas, dia tidak pernah cari gara - gara, baik di rumah mau pun di luar.

“Apakah dia suka memakai narkoba?” tanyaku.

“Tidak pernah, “Papi menggeleng, “jangankan narkoba, minuman keras pun tak pernah disentuhnya. Bahkan pernah kutawari minum bir waktu sedang malam tahun baru, dia menolaknya.”

“Jadi, “lanjut Papie, “pada dasarnya Boyke itu anak baik. Hanya saja dia sulit beradaptasi dengan kenyataan bahwa ibunya sudah tiada. Makanya sebagai sarjana psikologi, cobalah dekati dia terus. Bujuk dia agar mau kuliah, jangan cuma pergi hanya untuk menyendiri begitu.”

“Papie pernah membuijuknya agar mau melanjutkan pendidikannya?”

“Sering. Tapi dia selalu menolaknya. Buat apa kuliah bikin pusing aja… selalu begitu jawabannya. Makanya aku memilihmu karena selain cantik Mamie kan sarjana psikologi. Cobalah lakukan segala cara agar dia mau kuliah. Tapi harus ulet dan sabar. Lama - lama juga pasti luluh hatinya. Tentu saja dengan asesmen yang biasa diterapkan oleh para psikolog.

“Aku belum jadi psikolog Pap. Baru sarjana psikologi. Harus kuliah es-dua dulu baru jadi psikolog.”

“Tapi dasar - dasar psikologi kan sudah punya. Tentu Mamie punya trik untuk membujuk anak muda seperti Boyke agar tertarik untuk kuliah. Pokoknya lakukanlah segala cara, agar dia mau kuliah. Mamie pasti bisa.”

“Mmmm… hobby Boyke apa Pap?” tanyaku.

“Setauku hobbynya cuma main catur, dengarin musik dan mendaki bukit. Bukan mendaki gunung tinggi. Kalau sudah menemukan bukit yang indah pemandangan di sekitarnya, dia bisa seharian duduk di situ. Ohya… dahulu waktu masih di SMA, dia suka sekali memelihara ikan di aquarium. Senengnya cuma ikan kecil - kecil.

“Dia perokok ya Pap.”

“Ya. Tapi dia hanya merokok di luar rumah. Karena dia juga tau, merokok di ruangan berAC itu sangat tidak baik. Dan aku tak pernah melarangnya merokok. Karena aku sendiri sudah jadi perokok sejak masih di SMP dahulu.”

“Kebiasaan Papie itu jadi menurun kepada anaknya ya?”

“Iya. Biar sajalah kalau sekadar merokok gak apa - apa. Kalau dilihat dari umur, dia itu kan sudah dewasa. Tapi kelakuannya masih kayak abege.”

Ucapan - ucapan suamiku itu seolah indoktrinasi, bahwa aku harus ikut berjuang agar Boyke mau kuliah seperti teman - teman sebayanya. Dan yang terngiang - ngiang terus di telinga batinku adalah ucapan suamiku ini…

Pokoknya lakukanlah segala cara, agar dia mau kuliah. Mamie pasti bisa …

Aku sendiri merasa sudah menjadi bagian dari keluarga Mathias ini. Sehingga aku pun punya kewajiban untuk mendekati dan membujuk Boyke agar mau kuliah seperti cowok - cowok sebayanya.

Pada suatu hari, ketika suamiku sedang berada di luar negeri (dia memang sering sekali ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya), aku semakin tersemangati anjuran suamiku, untuk membujuk Boyke dengan segala cara, agar ia punya semangat untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi.

Mengingat salah satu hobbynya adalah main catur, aku sengaja membeli papan catur dan bidaknya yang terbaik dan termahal. Kemudian kuletakkan papan itu di meja kecil meja kecil yang dikelilingi sofa dalam kamarku. Dan kuletakkan bidaknya pada tempat yang semestinya sebelum permainan dimulai.

Kebetulan aku bisa juga main catur, meski tidak seberapa ahli.

Malamnya ketika terdengar derum motor Boyke memasuki pekarangan, aku pun bersiap - siap untuk menyambutnya dengan ajakan main catur di kamarku.

Di lorong menuju ke pintu kamar Boyke, aku menyambutnya, “Baru pulang Boy?”

Boy cuma menatapku sekilas, lalu mengangguk dan membuka pintu kamarnya. Pada saat itulah aku bertanya seolah - olah belum tahu bahwa main catur adalah salah satu hobbynya, “Bisa main catur Boy?”

Boy menoleh padaku, lalu mengangguk dengan suara nyaris tak terdengar, “Bisa…”

“Temenin mamie main catur yuk,” ajakku sambil memegang bahunya.

Boyke tidak menyahut. Cuma berdiri sambil memandang ke dalam kamarnya, yang pintunya sudah dibuka.

Tapi aku mendesaknya, “Boy Sayang, Papie kan lagi di luar negeri. Mamie jadi sulit tidur. Mendingan kita main catur sampai sama - sama ngantuk yuk.”

Boyke memandangku sekilas, lalu menunduk lagi sambil menyahut perlahan, “Mau mandi dulu.”

“Iya… iya… mandi dulu deh. Mamie juga mau mandi dulu. Mamie tunggu di kamar mamie ya.”

Boyke cuma mengangguk, lalu masuk ke dalam kamarnya.

Aku pun kembali ke dalam kamarku sambil memutar otakku.

Lalu aku benar - benar mandi, karena memang belum mandi sore.

Setelah mandi, kukenakan kimono sutera hitamku.

Pada saat itulah terdengar pintu diketuk dari luar. “Masuk aja, gak dikunci… !” seruku.

Lalu Boyke masuk ke dalam kamarku, dalam baju kaus dan celana pendek serba putih.

Aku pun duduk di sofa yang berhadapan dengan Boyke, sambil bertanya, “Mau putih atau hitam?”

“Mana aja,” sahutnya sambil memegang pion hitam di depannya. Diperhatikannya pion itu sambil bergumam, “Bagus sekali bidak caturnya.”

“Iya, sengaja mamie pilih yang paling bagus. Supaya kalau dibawa ke luar gak malu - maluin.”

“Dibawa ke luar? Ke dalam pertandingan antar grup maksudnya?”

“Bukan,” sahutku sambil melangkahkan pion putihku duluan, “Mamie sih maunya maen catur itu di luar. Di puncak bukit misalnya. Jadi kita bisa maen catur sambil menikmati segarnya udara bebas polusi. Apalagi kalau ada angin sepoi - sepoi meniup kita… pasti lebih nyaman lagi.”

“Mamie suka maen ke puncak bukit?” tanya Boyke. Inilah pertama kalinya Boyke memanggilku Mamie.

“Suka banget.”

Boyke melangkahkan pion hitamnya sebagai counter atas langkah pionku. “Sayang sekarang sudah malam,” ucapnya, “Kalau pagi - pagi bisa maen catur di puncak bukit. Tapi… Mamie gak keberatan kalau kubonceng di motorku?”

“Mauuu…” sahutku, “asal jangan dibawa ngebut aja. Ngeri soalnya, kalau jatuh dari motor pasti ada bekasnya di badan.”

“Aku jarang ngebut, kecuali kalau lagi ngejar waktu. Besok pagi aja kita ke puncak bukit ya Mam. Pakai motorku, bukan pakai mobil Mamie. Kalau pakai sedan, bisa rusak nanti sedannya, karena jalannya masih bergerinjal - gerinjal di antara bebatuan.”

“Iya. Mamie juga pengen ngerasain dibonceng sama Boy. Pasti menyenangkan dibonceng saama amnak kesayangan mamie,” sahutku sambil memijit hidung Boyke.

Lalu… untuk pertama kalinya aku melihat Boyke tersenyum.

Mudah - mudahan aja skenarioku akan berjalan sebagaimana mestinya.

Permainan catur di kamarku itu hanya berlangsung satu set. Boyke yang menang. Sengaja aku mengalah agar hatinya senang. Padahal kurasa masih bisa mengalahkannya kalau aku mau.

Lalu Boyke keluar dari kamarku setelah janjian akan membawaku ke puncak bukit sambil membawa papan catur dan bidaknya ke sana.

Esok paginya, kukenakan celana pendek corduroy berwarna biru tua, dengan baju kaus berwarna biru peacock. Sepatu yang kukenakan pun sepatju sport berwarna biru, agar matching dengan baju kaus dan celana pendekku. Aku pun membawa selimut tebal yang kumasukkan ke dalam ranselku. Sekalian membekal mantel panjang yang tidak tembus air, untuk jaga - jaga kalau turun hujan nanti.

Kuketuk pintu kamar Boyke sambil berseru, “Sudah siap Boy?”

“Sudah… !” sahut Boyke dari dalam, “Masuk aja… pintunya gak dikunci Mam… !”

Kulihat Boyke sudah mengenakan celana jeans dan baju kaus putih yang ditutupi dengan jaket jeans pula.

Aku pun melangkah ke belakang Boyke. Lalu memeluk Boyke dari belakangnya sambil berkata, “Sebenarnya mamie sayang sekali sama kamu Boy.”

Boyke seperti kaget pada awalnya. Tapi lalu menyahut perlahan, “Aku juga tak p;ernah membenci Mamie…”

Ucapan Boyke itu sangat berarti bagiku. Semoga skenarioku berjalan lancar, meski harus step by step.

Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk di belakang Boyke, di atas motor gedenya. Aku baru mau mengenakan helm, masih sempat mengingatkan Boyke, “Jangan ngebut ya Boy. Santai aja.”

“Iya Mam,” sahut Boyke sambil mengenakan helmnya.

Kemudian Boyke meluncurkan motor gedenya ke jalan aspal. Aku pun memeluk pinggangfnya erat -erat, sehingga terasa sepasang toketku menghimpit punggungnya.

Tapi aku tidak mempedulikannya. Karena aku menganggap sedang bersama anakku sendiri, meski usia Boyke hanya tujuh tahun lebih muda dariku.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)